achedy
achedy Achedy adalah Konsultan Web dan Web Programmer. Blog utama saya di http://achedy.penamedia.com

1. Kancil dan Pak Tani

Tidak ada komentar

Bangun tidur, Kancil merasa lapar. Terdorong perut lapar melilit-lilit, Kancil berjalan meninggalkan tepi hutan, menyusuri pematang sawah. Setelah sekian lama berjalan, Kancil sampai di kebun milik Pak Tani. Rupanya Pak Tani baru saja meninggalkan kebun itu. Buktinya, sebagian kebun masih basah bekas disiram air.  

Melihat terong, tomat, dan timun bergelantungan, Kancil berhenti. Perutnya semakin keras berbunyi minta diisi. Air liurnya menetes, lidahnya menjilat-jilat bibirnya. Ia sangat ingin menikmati buah-buahan segar di hadapannya. Tetapi dia sadar, kebun itu bukan miliknya. 

“Sayang, Pak Tani sudah pulang,” kata Kancil. “Jika Pak Tani masih ada di sini, aku bisa minta buah-buahan ini. Nah, karena Pak tani tak ada, baiklah aku akan mencoba mencari buah yang jatuh ke tanah saja.”

Kancil berjalan-jalan di antara tanaman. Kebetulan, ada beberapa buah yang terlepas dari tangkainya dan tergelatak di tanah. Ada tomat, terong, dan timun. Tapi, timunlah yang paling disukai Kancil. Karena itu, Kancil terus mencari timun yang lepas dari tangkai dan memakannya. Setelah kenyang, dia pergi ke tepi hutan, bergabung dengan teman-temannya.

Pagi harinya, Pak Tani pergi ke sawah. Dia amat heran melihat banyak jejak binatang di tanah basah yang disiramnya kemarin. Setelah diamati, tahulah ia bahwa jejak binatang itu bekas kaki Kancil.

“Wow, rupanya Kancil mendatangi kebun ini kemarin. Gawat. Kancil itu suka makan terong, tomat, dan terutama timun. Jika setiap hari datang kemari, tentu hasil panenku berkurang. Aku akan menangkapnya.” Demikaian kata Pak Tani di dalam hati. 

Pak Tani segera pulang. Dia membuat boneka besar atau orang-orangan yang disebutnya “memedi sawah”. Kerangkanya dari bambu, dagingnya dari jerami, dan kepalanya dari kelapa. Agar benar-benar menyerupai orang, kepada memedi sawah itu dipakaikan celana panjang, baju lengan panjang, dan caping. Mata, hidung, dan mulutnya dilukis dengan arang.

“Wah, persis orang beneran,” kata Pak Tani puas. 

Pak Tani lalu mencari getah nangka. Getah lengket itu dioleskan ke seluruh pakaian memedi sawah. Untuk apa? Ya, tentu saja untuk menangkap Kancil. Jebakan berupa memedi sawah itu lalu dipasang di tengah-tengah kebunnya.

Keesokan harinya, Kancil datang lagi ke kebun Pak Tani. Tujuannya, mencari buah-buahan rontok yang lepas dari tangkainya. Dia hanya akan mencari yang rontok saja, tidak memetik dari pohon. Mengapa? Jika memetik dari pohon tanpa ijin, namanya mencuri. Kancil tak mau mencuri.

Begitu sampai di kebun, Kancil terkejut setengah mati.  Ada apa? Dilihatnya “Pak Tani” berkacak pinggang di tengah kebun. Tanpa pikir panjang, Kancil berlari kencang menyelamatkan diri. Setelah jauh, dia berhenti dan menoleh ke “Pak Tani”.

Setelah lama mengamati, tahulah Kancil bahwa “Pak Tani” itu bukan Pak Tani yang sesungguhnya. Dia hanyalah boneka memedi sawah. Mengetahui hal itu, Kancil menjadi amat jengkel. Dia kembali ke kebun dengan marah.

“Hai, memedi sawah!” bentak Kancil. “Keterlaluan kamu. Jantungku hampir copot karena terkejut. Napasku hampir putus karena berlari kencang. Saya kira, kamu itu Pak Tani. Ternyata, kamu hanyalah memedi sawah yang jelek.”

Melihat memedi sawah diam saja, Kancil semakin jengkel. Ditendangnya memedi sawah itu dengan kaki depannya “plak”. Tentu saja kaki itu lengket karena memedi sawah dilumuri getah nangka yang amat lengket. 

“Hai, lepaskan! Nakal kamu. Ayo, lepaskan. Jika tidak, kutendang lagi kamu,” kata Kancil sambil menendangkan kaki depan yang lain. Kaki itu pun lengket lagi.

Kancil menarik-narik kedua kaki depannya dengan kuat. Agar lebih kuat, kaki belakangnya menjejak memedi sawah. Apa yang terjadi? Kedua kaki belakang itu juga lengket. Kini Kancil sadar bahwa dirinya kena jebakan. Setelah meronta-ronta melepaskan diri dan terus gagal, Kancil menyerah. Dia pasrah kepada nasib yang akan menimpanya. 

Sore hari, Pak Tani mendatangi kebunnya. Melihat Kancil kena jebakan, bukan main senangnya. Dihampirinyalah binatang itu. Kancil hanya diam ketakutan. Lebih-lebih dilihatnya Pak Tani membawa tali dan sabit.

“Nah, kena jebakan kamu,” kata Pak Tani. “Makanya, kamu jangan mencuri timun di kebunku. Enak saja! Aku bersusah payah menanam, tetapi kamu memanen.”

“Maaf, Pak Tani. Aku tidak mencuri. Aku tidak memetik dari pohon. Aku hanya mencari buah yang terjatuh, buah yang lepas dari tangkainya. Meskipun demikian, aku mengaku salah. Maafkan aku, Pak Tani. Tolong, lepaskan aku.” Demikian rengek Kancil minta dikasihani.

Akan tetapi, Pak Tani tidak percaya dengan pengakuan itu. Kancil diikat lehernya lalu dituntun pulang. Sampai di halaman rumah, kancil dimasukkan kurungan ayam. Di atas kurungan itu diletakkan batu besar sebagai pemberat. Tujuannya, agar Kancil tak kuat membuka kurungan. 

Malam itu, Kancil berada di halaman rumah Pak Tani, terpenjara di dalam kurungan ayam. Dari sana, ia mendengar pembicaraan Pak Tani dengan istrinya. Inti pembicaraannya, Kancil akan disembelih besok pagi untuk dimasak gule dan sate. 

Mendengar pembicaraan itu, kancil amat ngeri. Sekujur tubuhnya gemetar ketakutan. Dia menyesali perbuatannya. Tetapi, penyesalannya tak berguna. Dia ingin keluar dari kurungan. Namun, kurungan itu diberi batu besar sebagai pemberat. Kancil tak kuat membuka kurungan. 

“Riwayatku akan tamat besok pagi,” kata Kancil di dalam hati sambil mulai menangis sedih. 

Unsur Pendidikan 

Dongeng di atas mengandung unsur pendidikan budi pekerti luhur, antara lain sebagai berikut. Pertama, kita hendaknya tidak mengambil barang milik orang lain seperti yang dilakukan Kancil. Akibat perbuatan itu, Kancil ditangakap Pak Tani. Kedua, kita hendaknya menyadari kesalahan seperti Kancil yang mengakui kesalahannya. Ketiga, kita hendaknya kreatif seperti Pak Tani yang mampu membuat jebakan untuk menangkap Kancil. 

 

achedy
achedy Achedy adalah Konsultan Web dan Web Programmer. Blog utama saya di http://achedy.penamedia.com

Komentar